Wednesday, 18 January 2017

LENGGANG NYAI DANCE FROM BETAWI (JAKARTA, INA)

Lenggang Nyai dance is one of the dance art of Betawi in Jakarta, which was inspired by the life story of Nyai Dasimah. This dance is a dance of the new creation in the capture of a folk tale, so many messages and meanings in the picture through this dance.

Historically, Lenggang Nyai dance is created by a dance artist from Yogyakarta named Mandy Widiastuti. Because of his love for the art of dance in Indonesia and Betawi culture make this artist creates a new dance creations folklore background Betawi namely Nyai Dasimah story. Name Lenggang Nyai dance itself comes from the word "swing" which means "melengak - lengok" and the word "nyai" in the capture of Nyai Dasimah story.

According to the story, Nyai Dasimah is a lovely lady from Betawi is in a quandary to choose his life companion. At that time he was faced with two choices of men of different nationalities, the Dutch men and women Indonesia. After much thought, Nyai Dasimah chose sorang Dutch man named Edward William. After marriage, life Nyai Dasimah changed. There are rules - rules that made her husband made Nyai Dasimah felt confined. Feel rights - their rights as women looted, Nyai Dasimah decided to rebel and fight for freedom. The struggle for the rights of women that make Wiwik Widiastuti inspired to create this new dance creations as remembering the struggle of Nyai Dasimah fight for their rights and freedoms as a woman.

Movement in Lenggang Nyai dance depicts the characters and story of Nyai Dasimah. In the show, the dancers danced with agile movements that describe the joy and flexibility Betawi girl. The agility can be seen from the movement of the body, the feet and hands of the dancers who move dynamically. In addition there is movement from one side to the other depicting Nyai Dasimah confusion when deciding what to choose his life companion.

In this Lenggang Nyai dance performance, dancers used the cloth with a blend of fashion and Betawi Chinese cultural elements with bright colors such as light green and red light. On the head like a crown who decorated with ornaments that are identical to the Chinese culture. In this dance show was also accompanied by traditional Betawi music, namely Gambang kromong.

In its development, although this dance is a new dance creations. However Lenggang Nyai dance has become one of the Betawi traditional dance that often adorn various events such as custom events, welcoming important guests, ceremony, celebration and cultural festival held in the capital Jakarta, (Indonesia).

Friday, 23 December 2016


EDO TYAS - Elleareancition (Pergelaran Seni Musik Unnes 2014)





         This is my performance when I take the exam at the university, this song titled "Elleareancition". Carrying the instrumental rock genre with a little gotich nuance in it. This is a solo song of my own original creation and documented by special friends B7Production. Please visit my Youtube channel and don't forget to like, comment, share and subscriptions. Please appreciation of my work. I'm sorry if there are errors in the my guitar playing, if you have any comments and suggestions please write it in the comments field. Thank you for your attention, I hope you like it.

Thursday, 15 December 2016

TEORI DIGITAL AUDIO


Sumber: Artikel Forum DolphinDAW


            Sebagai seorang SE (Sound Engineer) baik di dunia digital maupun analog, sehari-hari kita bekerja dengan yang namanya sound atau suara. Apa itu suara? Suara adalah gelombang yang merambat, yang paling sering terjadi adalah suara yang merambat di udara. Tetapi suara bisa juga merambat melalui media lain. Satu-satunya tempat dimana suara tidak bisa merambat adalah ruang hampa udara.

            Suara dihasilkan oleh suatu benda yang bergetar, misalnya senar gitar, drum yang dipukul, piano, dsb. Ketika sebuah benda bergetar, benda tersebut kita namakan “sound source” atau sumber suara. Lalu getarannya akan dihantarkan melalui media, kemudian akan ditangkap oleh telinga kita.


Perhatikan gambar diatas, terdapat dua buah garis vertikal dan horisontal. Garis vertikal berhubungan dengan amplitude, yaitu tingkat/level kekerasan dari suara yang kita dengar. Dilambangkan dengan satuan decibel (dB). Sedangkan garis horisontal adalah time yang berhubungan dengan frekuensi. Frequency (frekuensi), adalah tinggi rendahnya suara yang dilambangkan dengan satuan hertz (Hz). Frequency terkadang kita sebut juga dengan “pitch” atau nada.



            Seperti yang sudah dibahas, frequency atau pitch berhubungan dengan garis horizontal. Perhatikan gambar diatas, bisa dilihat bahwa sebuah gelombang terdiri dari satu bagian bukit dan satu bagian lembah. Gelombang bergerak pada garis horizontal. Ketika terjadi satu buah bukit dan ditambah satu buah lembah maka bisa dikatakan itu adalah satu cycle. Secara singkat, freqency adalah banyaknya cycle yang terjadi dalam waktu satu detik. Satuan waktu satu detik adalah fixed atau tetap. Yang berubah adalah banyaknya cycle yang terjadi. Apabila gelombang suara panjang, maka dalam satu detik dia hanya mengandung sedikit cycle, sehingga frequency yang kita dengar adalah frequency rendah. Tetapi apabila gelombangnya pendek, maka dalam satu detik akan terjadi banyak cycle sehingga pitch atau frequency yang dihasilkan akan lebih tinggi.


            Perhatikan gambar diatas, garis vertikal menggambarkan tingkat kekerasan suara atau amplitudenya. Semakin tinggi bukitnya, maka suara yang kita dengar akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah lembahnya, maka suara yang kita dengar akan semakin pelan. Misalkan kita memetik sebuah senar gitar. Apabila kita petik dengan pelan maka senar akan bergetar sedikit, sehingga menghasilkan suara yang pelan. Tetapi apabila kita petik dengan kuat, maka senar akan bergerak jauh dan menghasilkan suara yang keras.

            Setelah kita paham apa itu suara, selanjutnya bagaimana suara bisa kita dengar, atau kita olah di mixer, atau kita rekam? Pertama-tama mari kita bahas “transducer”. Transducer adalah alat yang mengubah suatu bentuk daya menjadi bentuk daya lainnya untuk berbagai tujuan termasuk pengubahan ukuran atau informasi. Dalam hal ini, telinga kita termasuk sebuah transducer, gelombang di udara akan ditangkap oleh daun telinga, lalu diteruskan ke gendang telinga kita. Dari gendang telinga, getaran diteruskan ke “cochlea” atau rumah siput dimana terdapat ratusan ribu rambut halus yang berfungsi sebagai sensor. Hasilnya dikirim melalui syaraf ke otak. Beginilah kita mempersepsikan sound atau suara.
            Contoh lain dari transducer adalah microphone yang mana mengubah gelombang suara, atau energi akustik menjadi sinyal atau energi listrik dalam bentuk variasi voltase. Speaker juga termasuk transducer. Cara kerja speaker adalah kebalikan dari microphone. Speaker bekerja mengubah sinyal listrik menjadi gelombang suara.
            Perbedaan utama antara Recording Engineer dan Live Sound Engineer adalah; seorang recording engineer bekerja untuk menangkap suara, yang kemudian disimpan. Sedangkan live sound engineer tidak melibatkan media penyimpanan.

            Berikut adalah proses dari live sound, misalnya konser, dsb. Suara ditangkap microphone, diubah menjadi voltage variation, lalu dikirimkan ke preamp untuk diperkuat menjadi line level. Setelah itu diproses/mixing di mixer, di’compress, EQ, gate, kemudian diberi reverb, dsb. Output hasil proses mixing lalu dikirim ke amplifier yang men’drive loudspeaker. Loudspeaker kemudian mengubahnya kembali menjadi gelombang suara untuk didengar audience.

            Recording adalah proses untuk menangkap suara, lalu menyimpannya ke dalam suatu media sehingga bisa didengarkan setiap saat. Pada jaman analog dulu, media penyimpan yang digunakan adalah pita/magnetic tape. Ada berbagai macam pita, misalnya ¼ inch yang biasa digunakan di radio-radio, sampai pita 2 inch yang bisa menyimpan 24 track sekaligus. Kaset yang kita kenal adalah magnetic tape. Cara penyimpanannya dengan dua buah head berbeda, yang satu recording head untuk menulis, dan yang satu lagi playback head untuk membaca. Jadi dengan adanya recording media, maka suara tidak akan hilang karena bisa disimpan.

            Pada dunia digital seperti sekarang, kita tidak menyimpan hasil rekaman pada pita, melainkan pada file yang disimpan pada komputer. Beberapa keuntungan penyimpanan dalam bentuk digital:
1.    Murah dan terjangkau.
Jaman dahulu jika mau rekaman, seorang produser harus membeli pita 2 inch yang bisa merekam 24 track selama 15 - 30 menit. Harga pita bisa mencapai 1 juta lebih. Bandingkan dengan hard disk atau bahkan flash disk 32 gb yang sudah bisa menyimpan beberapa lagu yang masing-masing memiliki puluhan track.
2.    Mudah di’backup dan dipindahkan.
Apabila pitanya hilang atau tersiram air maka isi di dalamnya akan hilang. Dengan penyimpanan digital maka resiko data hilang sangat minim karena dapat di’backup dengan mudah.
3.    Kualitasnya tetap walaupun di’copy ataupun dimainkan berulang-ulang.
Data digital biasanya memiliki parity check yang memastikan tidak terjadi kesalahan pada saat meng’copy. Apabila terjadi error, biasanya yang terjadi adalah “file corrupt” atau tidak bisa dibaca lagi. Jaman analog dulu, kualitas file audio bisa menurun jika dicopy.

            File bisa terdiri dari 8 bit, 16 bit, atau 24 bit. Ini yang kita sebut dengan bit resolution, dan berhubungan dengan banyaknya dynamic range yang bisa direkam ataupun diplayback oleh file tersebut. Selain memiliki bit resolution, file juga memiliki sample rate. Sample rate behubungan dengan frekuensi tertinggi yang bisa direkam ataupun diplayback oleh file tersebut.

Tuesday, 29 November 2016

JANGKAUAN FREKUENSI INSTRUMENT & SENSITIFITAS TELINGA TERHADAP FREKUENSI

Tabel Jangkauan Frekuensi Instrumen

Sumber: Independent Recording.net





Data Spektrum:

1.    Sub Bass
Jangkauan frekuensi 16 – 60 Hz
  • Lebih mudah dirasakan daripada didengar
  • Power dalam suatu musik terkandung dalam range frekuensi ini. Musik yang tidak mempunyai atau kekurangan frekuensi sub bass akan terdengar tidak bertenaga.
  • Sub bass dalam jumlah yang terlalu banyak menyebabkan musik menjadi keruh.


2.    Bass
Jangkauan frekuensi 60 – 250 Hz
  • Umumnya digunakan dalam pembentukan ritmis pada sebuah musik (rhythm  section).
  • Membuat musik/instrumen terdengar lebih “fat” (gemuk, tebal).
  • Frekuensi bass yang terlalu banyak bisa menyebabkan musik menjadi “boomy” (mendengung dan tenggelam).


3.    Mid Range
Jangkauan frekuensi 250 Hz – 2 kHz
  • Suara harmonik terendah pada sebagian besar instrumen.
  • Terlalu banyak frekuensi 500 Hz – 1 kHz menyebabkan musik/instrumen  menjadi “honking” (tumpul).
  • Terlalu banyak frekuensi 1 – 2 kHz menyebabkan musik/instrumen menjadi “tinny” (bersuara seperti logam).



4.    High Mid Range
Jangkauan frekuensi 2 – 4 kHz
  • Mengandung “attack” (hentakan) pada sebagian besar instrumen perkusi.
  • Suara vokal lebih mudah dianalisa pada frekuensi ini.
  • Terlalu banyak frekuensi ini menyebabkan telinga cepat lelah.


Jangkauan frekuensi 4 – 6 kHz
  • Mengandung clarity dan kejelasan.
  • Menaikkan (boost) frekuensi ini akan membuat musik/instrumen terdengar  lebih maju (presence).
  • Low sibilance terletak pada renge frekuensi ini.


5.    High
           Jangkauan frekuensi 6 – 20 kHz
  • Mengandung “brightness” (kecerahan) dan “crispness” (renyah).
  • High sibilance terletak pada range frekuensi ini.
  • Terlalu banyak frekuensi 8 – 16 kHz akan menyebabkan musik/instrumen  terdengar “brittle” (rapuh).
  • Sama halnya dengan sub bass, frekuensi diatas 16 kHz lebih mudah dirasakan daripada didengar.



Data Instrumen:
1.    Suara vokal laki-laki (male vocal)
·         Fullness                            : ~ 120 Hz
·         Boominess                        : ~ 240 Hz
·         Presence/Recognition   : 2 kHz – 4 kHz
·         Sibilance                            : 4 kHz – 9 kHz
·         Breath/Air                         : 10 kHz – 16 kHz
2.    Suara vokal perempuan (female vocal)
·         Fullness                           : 240 Hz
·         Presence/Recognition : 2 kHz – 4 kHz
·         Sibilance                          : 4 kHz – 9 kHz
·         Breath/Air                       : 10 kHz – 16 kHz
3.    Kick Drum
·         Bottom/Punch             : 50 Hz – 100 Hz
·         Fullness                         : 100 Hz – 250 Hz
·         Attack                             : 3 kHz – 5 kHz
·         Hollowness                   : ~ 400 Hz
·         Muddiness                     : dibawah 800 Hz


4.    Timpani
·         Fundamental               : 125 Hz – 150 Hz
·         Primary Modes           : 145 Hz – 360 Hz
·         Attack                            : ~ 3 kHz
5.    Toms
                Floor tom:
·         Fullness                      : 80 Hz – 120 Hz
·         Attack                          : ~ 5 kHz
Rack toms:
·         Fullness                      : 240 Hz – 400 Hz
·         Attack                          : 5 kHz – 7 kHz
6.    Snare
·         Ring                             : ~ 900 Hz
·         Fullness                      : 120 Hz – 240 Hz
·         Attack/Crisp              : 2.5 kHz – 5 kHz
·         Snap                             : ~ 10 kHz
7.    Conga
·         Resonant/Ring           : 200 Hz – 240 Hz
·         Presence/Slap             : 4 kHz – 5 kHz
8.    Cymbals/hi-hat
·         Clang                             : ~ 200 Hz
·         Presence                       : ~ 3 kHz
·         Shimmer                      : 7.5 kHz – 12 kHz
9.    Tuba
·         Low fundamental        : B0 (29 Hz)
·         Overtones                      : 1.5 kHz – 2 kHz
10.  French horn
·         Fundamentals             : B1 – G5 (55 Hz – 700 Hz)
·         Formants                      : ~ 340 Hz dan 750 Hz – 3.5 kHz
11.  Bass trombone
·         Fundamentals             : Bb1 – G4 (58 kHz – 400 Hz)
·         Overtones                     : sampai 4 kHz
·         Overblows                    : sampai 8 kHz
12.  Tenor trombone
·         Fundamentals             : E2 – C5 (82 Hz – 520 Hz)
·         Overtones                     : sampai 5 khz
·         Overblows                    : sampai 10 kHz
13.  Trumpet
·         Fundamentals             : E3 – D6 (165 Hz – 1.2 kHz)
·         Formants                     : 1 – 1.5 kHz dan 2 kHz – 3 kHz
·         Piercing                        : ~ 5 kHz
14.  Contrabassoon
·         Fundamentals             : Bb0 – G3 (29 Hz – 200 Hz)
·         Overtones                     : sampai 4 kHz

15.  Bassoon
·         Fundamentals             : Bb1 – E5 (55 Hz – 575 Hz)
·         Overtones                    : sampai 9 kHz
16.  Tenor sax
·         Fundamentals            : B2 – F5 (120 Hz – 725 Hz)
·         Overtones                    : sampai 8 kHz
·         Breath                           : sampai 13 kHz
17.  Alto sax
·         Fundamentals            : C#3 – G5 (139 Hz – 785 Hz)
·         Overtones                    : sampai 8 kHz
·         Breath                           : sampai 13 kHz
18.  Clarinet
·         Fundamentals           : C#3 – G6 (139 Hz – 1.6 kHz)
·         Overtones                   : soft sampai 1.5 kHz; loud sampai 12 kHz
19.  Oboe
·         Fundamentals           : Bb3 – G6 (250 Hz – 1.5 kHz)
·         Overtones                   : sampai 12 kHz
20.  Flute
·         Fundamentals           : B3 – C7 (247 Hz – 2.1 kHz)
·         Overtones                   : sampai 3 – 6 kHz
·         Overblows                  : sampai 8 kHz
21.  Piccolo
·         Fundamentals           : E5 – B7 (630 Hz – 4 kHz)
·         Overtones                   : sampai 16 kHz
22.  Bass gitar
·         Fundamentals            : E1 – F4 (41 Hz – 343 Hz)
·         Low fundamentals    : dibawah B0
·         Bottom                          : 50 Hz – 80 Hz
·         Attack/Pick                 : 700 Hz – 1 kHz
23.  Cello
·         Fundamentals            : C2 – C5 (56 Hz – 520 Hz)
·         Fullness                       : ~ 240 Hz
·         Overtones                   : kurang dari 8 kHz
24.  Viola
·         Fundamentals            : C3 – C6 (125 Hz – 1 kHz)
·         Overtones                    : sampai 6.3 kHz
·         Fullness                       : 220 Hz – 240 Hz
·         Scratchiness               : 7 kHz – 10 kHz
25.  Violin
·         Fundamentals            : G3 – E6 (200 Hz – 1.3 kHz)
·         Fullness                       : ~ 240 Hz
·         Formants                    : 300 Hz, 1 khz, dan 1.2 kHz
·         Overtones                   : sampai 16 kHz
·         Scratchiness               : 7 kHz – 10 kHz

26.  Gitar
·         Fundamentals           : E2 – D6 (82 Hz – 1.2 kHz)
·         Fullness                    : 80 Hz (akustik) dan 240 Hz – 500 Hz (elektrik)
·         Body                             : ~ 240 Hz (akustik)
·         Presence                      : 2 kHz – 5 kHz
·         Lubang resonansi suara pada frekuensi antara 80 Hz sampai 100 Hz (akustik)
27.  Harpa
·         Fundamentals            : Bb0 – G7 (29 Hz – 3.1 kHz)
·         Overtones                    : sampai 4 kHz – 6 kHz

28.  Pipe organ
·         Fundamentals             : E0 – A8 (20 Hz – 7.1 kHz)
·         Fullness                        : 80 Hz
·         Presence                        : 2 kHz – 5 kHz
·         Body                                : ~ 240 Hz
29.  Piano
·         Fundamentals            : A0 – C8 (27 Hz – 4.2 kHz)
·         Fullness                       : 80 Hz – 120 Hz
·         Presence                       : 2 kHz – 5 kHz
·         Resonance                   : ~ 40 Hz – 60 Hz
·         Honky-tonk                : ~ 2.5 kHz





Tabel Tingkat Sensitifitas Telinga Manusia Terhadap Berbagai Macam Frekuensi



            Gambar diatas adalah garis persamaan tingkat kekerasan suara pada rata-rata telinga manusia yang ideal. Tiap garis putih menghubungkan poin-poin pada tiap-tiap frekuensi yang terdengar pada telinga manusia yang dikondisikan pada volume yang sama. Semakin garis tersebut turun ke bawah, berarti semakin tinggi tingkat sensitifitas telinga terhadap frekuensi tersebut. Satu “phon” sama dengan 1 dB pada frekuensi 1 kHz.

            Tidak ada dua pasang telinga yang sama identik. Tiap telinga manusia memiliki tingkat sensitifitas yang berbeda-beda. Jadi, tabel tersebut diambil dari tes sample sensitifitas telinga manusia yang disurvei dalam jumlah yang besar, dan berdasarkan pada standar internasional ISO 226 (2003) untuk garis tingkat kekerasan suara terhadap telinga manusia.


Keterangan:
  •          Sub Bass

    Bagian dari spektrum ini adalah bagian dimana telinga sangat tidak sensitif. Semakin rendah frekuensi sub-bass, maka akan semakin sulit untuk didengar.

  •          Bass

     Sensitifitas telinga akan mulai menguat dari tingkat respon yang lemah pada sub-bass, menuju tingkat level yang lebih akurat, saat bass berada pada frekuensi mid-range yaitu sekitar 300 Hz.

  •          Mid-range

     Telinga manusia akurat pada frekuensi mid-range. Tingkat akurasi tertinggi terletak pada frekuensi di sekitar 1 kHz. Peningkatan sensitifitas pada frekuensi 400 - 500 Hz biasa dikenal dengan istilah “muddiness”.

  •          High Mids

    Sensitifitas telinga yang paling tinggi dimulai dari frekuensi diatas mid-range, hingga mencapai puncak sensitifitas tertinggi, yaitu sekitar 4 kHz.

  •          High Freq.


    Sensitifitas telinga akan berkurang pada frekuensi sekitar 10 kHz, dan akan meningkat kembali pada frekuensi 12 sampai 13 kHz. Setelah frekuensi 13 kHz, sensitifitas telinga akan turun kembali dengan cepat.